Refleksi Ditengah Sendiri

Bagaimana kabar karantina mandiri temen²? Telah 3 minggu kita lewati menghadapi kondisi wabah virus ini. Ada yang masih tetap bertahan dirumah. Namun tak sedikit yang akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman. Semua tentu punya maksud dan niat baik dalam bertindak di masa wabah ini. Tak ada yang ingin terjatuh dalam celaka atau tak sengaja mencelakakan, iya kan?

Bagi saya yang masih diperantauan, terkadang semakin hari, kerinduan terhadap kampung halaman tak tertahan. Namun saya dan orang tua telah bersepakat, bahwa menunda kepulangan sampai benar² aman adalah diutamakan. Secara syar'iat telah dijelaskan dan inilah yang dipegang kuat² oleh Abi setiap kali kami bersua dalam jaringan.

Ummi. Sosok yang mungkin hari ini sangat khawatir terhadap anak sulungnya ini, sejenak terlihat (dalam sambungan video call) ingin sekali rasanya mengizinkan anaknya pulang. Namun beliau tahu, taat kepada suami dan syar'iat adalah harga mati. Saya pun sebisa mungkin memberikan kabar² yang menggembirakan berharap mampu mengobati rindu yang demikian sangat.

Menyadarlah kita, bahwa syukur dalam kondisi demikian adalah hal yang utama. Senantiasa menjalin komunikasi yang positif antar anggota keluarga dapat menenteramkan jiwa bukan? Karena dari mereka (keluarga) Allah izinkan ketenangan ini hadir. Tawa canda abi/ummi/adik/kakak atau anggota keluarga yang lain mampu menghibur diri ini yang terkadang terjebak dalam kesendirian.

Syukur berikutnya ialah saya mencoba membayangkan kondisi sebagian ayah yang harus tetap bekerja diluar demi tercukupinya kebutuhan keluarga dimasa sulit ini. Juga saya mencoba membayangkan kondisi sebagian kawan yang tetap survive diperantauan dalam kos² hunian mereka yang sempit dan nyelempit ditengah ibukota. Lagi saya membayangkan sehingga syukur ini semoga terus terjaga ketika melihat sebagian anak usia sekolah yang hari ini harus berjuang menghidupi dirinya dengan berjualan kue keliling yang hampir setiap hari lewat didepan tempat saya tinggal. Saya tak tahu apakah mereka masih memiliki ayah ibu lengkap seperti saya ataukah tinggal sebatang kara?

Terakhir, bersyukurlah kita. Mendapat tempat yang nyaman lagi aman. Logistik tercukupi hingga sekarang, semoga bertahan sampai kedepan. Keluarga lengkap dalam hunian. Ranjang yang empuk. Cemilan yang kriuk. Aktifitas yang mudah dengan segala kecanggihan gawai hari ini. Ah, nikmat mana lagi yang harus ditustai. Maka, tengoklah pejuang terdepan dalam masalah ini. Para dokter, perawat, staff RS, dan tentunya para pemimpin kita. Tak terbayang bukan penat isi kepala dalam mengusahakan jalan keluar dari ini semua. Berhadapan langsung dengan risiko tertinggi adalah konsekuensi, lalu kita? Masihkah asyik mencaci, mengkritik tanpa solusi. Semoga Allah jaga selalu kita semua.

Rabbi, dengan segala Kemahaan-Mu. Kami adalah hambu-Mu. Inilah kami dengan diri berlumur dosa khilaf dan alpa. Namun tak sedikitpun hal ini mengurangi ke-agungan-Mu Rabbi. Kami tak menahu inikah adzab atau musibah dari-Mu. Ampunkan kami Rabbi. Perkenankan kami senantiasa berhusnu-dzon pada-Mu.

Jakarta, 12 Sya'ban 1441 H

Komentar

  1. Maa syaa Allaah , baarakallaahu fiikum yaa syaikh

    Ana bertaubat kepada Allaah karena belum bisa menjalankan syariat ini scr maksimal dan sekarang telah sampai di kampung halaman

    لا اله إلا أنت سبحنك إني كنت من الظالمين
    اللهم ارفعنا هذا الوباء و البلاء
    الله يحفظكم و المسلمين جميعا

    📝 Abu Sa'id
    Saudara antum dr kampung halaman yang sama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wafiekum baarakallaah

      Khoir insyaallah, semoga ter-ijabah doa² kita akhinda

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Awwalussanah | babak baru

Muda Berani

Momentum dari Rembang